Empat kasus tersebut adalah kasus yang menyita perhatian publik, karena paling masif mendapat sorotan media.
Direktur Somasi NTB, Dwi Arie Santo mengatakan keempat kasus tersebut adalah kasus dugaan KUR fiktif di Lombok Timur, kasus dugaan korupsi pengadaan bibit ternak sapi di Lombok Barat, kasus dugaan penyimpangan pengelolaan beasiswa Bidikmisi, dan kasus dugaan proyek penambahan ruang operasi dan ICU RSUD Lombok Utara.
Dalam kasus dugaan KUR fiktif di Lombok Timur ditangani oleh Kejati NTB. Kejaksaan telah memanggil Ketua HKTI untuk dimintai keterangan.
“Kasus di Kejati memanggil ketua HKTI sudah tepat, karena perjalanan kasus mencuat diduga melibatkan oknum pegawai salah satu bank,” kata Dwi Arie Santo, Selasa, 5 Juli 2022.
Dwi mengatakan, penjelasan Ketua HKTI penting melihat sejauh mana keterlibatan HKTI dalam kasus ini. Dalam kasus tersebut, Somasi NTB meminta transparansi kejaksaan.
“Kejaksaan harus terbuka, jangan sampai hanya eksekutor saja yang dijerat namun aktor intelektual di balik kasus justru dibiarkan bebas, karena dalam kasus korupsi sangat kecil dilakukan seorang diri. Pasti melibatkan banyak pihak,” ujarnya.
Kemudian, kasus dugaan pengadaan bibit ternak sapi di Lombok Barat. Pada kasus tersebut menggunakan anggaran melalui APBD-P tahun anggaran 2020 dengan pagu sekitar Rp2 miliar yang dieksekusi melalui Dinas Pertanian Kabupaten Lombok Barat.
Susunan harga sementara dalam kasus tersebut sekitar Rp2 miliar dengan diikuti 34 peserta untuk pengadaan sapi sebanyak 264 ekor. Dimenangkan oleh salah satu perusahaan dengan penawaran Rp1,9 miliar.
Selain itu pengadaan bibit sapi eksotis dengan pagu Rp540 juta yang dilelang dengan harga Rp539 juta. Yang dimenangkan perusahaan lain dengan penawaran Rp400 juta. Di mana perusahaan tersebut juga memenangkan bibit sapi jantan dengan pagu Rp500 juta.
Untuk harga pembanding sendiri Rp503 juta dan dimenangkan dengan penawaran Rp453 juta.
“Dalam kasus ini diduga terjadi penyimpangan. Mulai proses pengadaan sampai pendistribusian di mana dalam pengadaan terjadi indikasi perencanaan serta pelaksanaan pengadaan yang berpotensi terjadinya penyimpangan,” katanya.
Sedangkan dalam pendistribusian terjadi ketidaksesuaian dengan apa yang sudah direncanakan atau ditetapkan dalam anggaran tidak sesuai ketika didistribusikan.
Ini muncul ketika spesifikasi yang sudah direncanakan dalam dokumen daerah tidak sesuai dengan apa yang diterima masyarakat atau penerima bantuan bibit sapi.
“Di sisi lain muncul penerima diduga hanya menerima secara simbolis. Namun begitu serah terima, sapi diambil kembali oleh oknum-oknum yang memberi sapi kepada kelompok tani,” ujarnya.
Dia meminta informasi tersebut harus digali kejaksaan untuk memastikan kebenaran, tidak hanya dari pihak dinas atau perusahaan, namun juga keterangan dari masyarakat atau petani yang menerima bantuan.
Dia juga meminta DPRD Lombok Barat mengatensi kasus tersebut dengan membentuk tim khusus atau timsus.
“Catatan penting bagi DPRD Lombok Barat semestinya memberikan atensi kepada kasus ini dengan memanggil Dinas Pertanian Lombok Barat untuk memberikan penjelasan seperti apa yang terjadi,” ujarnya.
“Kalau perlu DPRD Lombok Barat membentuk timsus untuk memastikan informasi ini seperti apa faktanya dengan mengklarifikasi para petani yang dilaporkan menerima bantuan tersebut,” kata Dwi.
Kemudian, kasus dugaan tindak pidana penyimpangan pengelolaan beasiswa Bidikmisi tahun 2018. Ada juga program beasiswa Kartu Indonesia Pintar 2019-2020 yang diduga telah dilakukan pemotongan oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan pihak kampus.
“Ini harus menjadi perhatian aparat penegak hukum agar kasus segera diungkap. Karena berita di media kasus ini terang benderang untuk segera ditetapkan siapa tersangka dan siapa aktor kasus,” katanya.
Dwi menjelaskan, dalam kasus tersebut mahasiswa diminta menyetorkan sebagian beasiswa yang didapatkan dan bahkan diindikasikan ada beberapa mahasiswa penerima beasiswa ditahan buku tabungan karena belum menyetorkan uang atau setoran yang sudah dimintai oknum.
Terakhir, kasus dugaan proyek penambahan ruang operasi dan ICU pada RSUD Lombok Utara.
Kasus ini menjerat Wakil Bupati Lombok Utara. Bahkan terduga sudah ditetapkan tersangka. Namun hingga sejauh ini belum ada penahanan.
“Kasus ini telah ditetapkan tersangka namun proses sangat berlarut-larut. Bahkan dengan tidak ditahan tersangka ada hal patut dipertanyakan,” ujarnya.
Dwi mengatakan kasus tersebut berbeda perlakuan dengan kasus lainnya. Di mana seseorang yang ditetapkan tersangka akan ditahan. Namun dalam kasus ini, justru kejaksaan tidak kunjung melakukan penahanan.
“Kenapa pada kasus ini diperlukan beda dengan kasus lain saat ditetapkan tersangka maka ditindaklanjuti dengan proses penahanan,” katanya.
Dalam empat kasus tersebut, Somasi NTB meminta kejaksaan menindaklanjuti setiap kasus tanpa pandang bulu, memberikan informasi secara terbuka terkait perkembangan kasus, menahan pihak yang ditetapkan tersangka agar pelaku tidak merusak dan menghilangkan barang bukti, dan menjadi bagian dari penanganan yang adil bagi tersangka kasus lainnya yang sudah ditahan. (red)
Sumber: Koran NTB