MATARAM – Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) Provinsi NTB, telah mendesak Aparat penegak hukum (APH) untuk mengusut invoice fiktif anggota DPRD NTB. Hal yang sama juga disuarakan dalam temuan program beasiswa NTB.
Direktur Somasi NTB, Dwi Arie Santo mengatakan, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam program Beasiswa tidak bisa hanya dilihat sebatas kesalahan teknis atau administrasi saja. “Ini kan aneh, masa orang tidak pernah hadir menjadi narasumber di dalam kegiatan, justru laporanya ada. Tidak mungkin aturan membolehkan membuat laporan yang berpotensi fiktif seperti itu. Ini hanya salah satu contoh kasus saja,” ujarnya kepada Radar Lombok, Rabu (2/6).
Membuat laporan fiktif tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Apalagi menyebut praktik tersebut tidak ada unsur kesengajaan. Itu artinya konsistensi dan komitmen pemberantasan korupsi patut dipersoalkan lagi.
Ditegaskan Arie, temuan BPK tidak atas dasar suka atau tidak suka. Tapi berdasarkan aturan yang berlaku dan fakta. “Menurut saya unsur kesengajaannya sudah jelas. Sederhananya kalau memang kegiatan tidak dilakukan, ya sedari awal jangan dicairkan. Kembalikan saja ke kas negara dan jadi Silpa. Terus kenapa bisa buat laporan begitu? Dan bayangkan saja kalau tidak ada temuan LHP BPK, siapa yang bisa pastikan temuan itu akan dikembalikan ke kas negara?” sindir Arie.
Salah satu temuan BPK, memang adanya dugaan laporan fiktif. Hal itu terungkap dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan, yang disebutkan ada honorium bagi narasumber. Tapi ketika BPK melakukan konfirmasi kepada salah satu narasumber, ternyata narasumber tersebut tidak menghadiri kegiatan LPP NTB dan tidak pernah menerima honorarium.
Selain itu, terdapat lima kegiatan pelatihan yang tidak didukung bukti pelaksanaannya. Nilai kegiatan tersebut sekitar Rp 323 juta. “Kalau temuan seperti itu hanya diselesaikan secara administratif saja, ini tidak akan ada perubahan kedepan. Kami mendesak agar APH turun memastikan hasil temuan BPK ini ada atau tidak unsur kesengajaanya,” ucap Arie.
Berbagai temuan lainnya juga patut diatensi. Pasalnya, setiap uang negara dikeluarkan, sudah pasti ada dasar hukumnya. Namun, banyak temuan BPK atas Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) NTB yang mencairkan dana ke mahasiswa. “Satu hal yang harus diingat, maladministrasi merupakan salah satu pintu masuk terjadinya korupsi,” tegasnya.
Hal yang harus dipahami juga, satu rupiah uang negara tidak boleh dicairkan sembarangan. Semua ada mekanismenya. “Temuan di DPRD maupun program beasiswa, ada unsur kesengajaan yang terpenuhi. Masa iya gak sengaja,” ujarnya.
Sekretaris LPP Provinsi NTB, Sri Hastuti menyampaikan, pihaknya menyusun laporan hasil pelaksanaan kegiatan tahun 2020 pada bulan Maret 2021. Selain itu, yang menyusun laporan tersebut merupakan staf baru, sehingga tidak mengetahui kegiatan yang dilaksanakan tahun 2020. “Sehingga menganggap laporan yang diminta adalah laporan kegiatan tahun 2021,” paparnya.
Pihak LPP juga menyampaikan, penyusunan baru dilakukan karena pada tahun 2020 tidak mengetahui bentuk laporan yang harus dibuat. Sehingga baru menyusun laporan setelah diminta oleh Dikbud pada Maret 2021. (zwr)
Sumber: Radar Lombok