NTBSATU.com

Korupsi bukan persoalan baru di Indonesia, termasuk NTB. Dari tahun ke tahun, penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan diri sendiri kerap ditemukan nyaris di seluruh wilayah Indonesia.

Baik itu dari lingkungan perusahaan, organisasi, yayasan hingga instansi. Para pelaku korupsi di Indonesia sebagian besar merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Di Provinsi NTB, korupsi bukan “barang” asing di kalangan ASN. Catatan NTBSatu, selalu ada oknum ASN kota dan kabupaten di NTB yang terperangkap kasus dan jadi tersangka.

Kasus sarana produksi (Saprodi) cetak sawah baru Bima tahun 2016, misalnya. Dalam kasus ini menyeret sejumlah ASN di Kabupaten Bima, seperti mantan Kadis PTPH, M. Tayeb. Kemudian Muhammad dan Nur Mayangsari yang merupakan pejabat di Dinas PTPH Bima.

Di Sumbawa, baru-baru ini Dirut RSUD setempat, dr. Dede Hasan Basri dijadikan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi BLUD. Kasus serupa juga terjadi di Lombok Tengah, tersangkanya merupakan Dirut RSUD Praya, dr. Muzakir Langkir.

Kasus paling menyedot perhatian publik, terkait penetapan tersangka Kadis ESDM NTB, ZA dan mantan Kabid Energi, SM dalam kasus dugaan korupsi Tambang Pasir Besi Lombok Timur. SM diketahui masih aktif sebagai ASN dalam jabatan Kadisnakertrans Dompu.

Sejumlah kasus di atas hanya sebagian dari rangkaian penetapan tersangka oleh Polisi dan Jaksa di NTB.

Menanggapi fenomena itu, Direktur Solidaritas Masyarakat Untuk Transparansi (Somasi) NTB, Dwi Arie Santo ada banyak faktor penyebab terseretnya para ASN di NTB ke dalam kasus korupsi.

Dimulai dari sistem rekruitmen, misalnya. Sebelum menjabat, transaksi jual beli jabatan kerap terjadi di sejumlah lembaga maupun instansi. Menurutnya, ada keterkaitan antara tindakan tersebut dengan fenomena korupsi di kalangan ASN.

“Karena banyak kasus-kasus yang konteksnya terkait dengan itu (jual beli jabatan). Itu patut diduga bahwa apa yang terjadi hari ini juga berhubungan dengan perilaku seperti itu (korupsi),” kata Arie kepada NTBSatu, tidak lama ini.

Menurut Arie, jika dari awal para ASN duduk di posisinya dengan cara yang salah seperti menyogok atau memiliki bekingan politik di belakangnya, sementara tidak memiliki kapasitas untuk menjabat posisi tersebut, wajar kasus korupsi bersemayam di lingkungan ASN.

“Jika memang yang terjadi seperti itu, secara bisnisnya, maka patut diwajarkan kasus itu (korupsi) terjadi. Wajar dalam arti negatif ya,” ucapnya.

Lebih jauh Arie mengatakan, fenomena jual beli jabatan tidak hanya dalam konteks untuk mendapatkan posisi. Tapi juga untuk mempertahankan kekuasaannya.

“Untuk melanggengkan posisinya itu juga termasuk kategori jual beli jabatan,” sebutnya.

“Kalau caranya dilakukan seperti itu, secara filosofi bahwa ASN itu adalah abdi negara akan hilang,” sambungnya.

Menurut Direktur Somasi itu, kegiatan jual beli jabatan di kalangan ASN maupun pejabat bukan hal yang baru di publik. Sudah menjadi rahasia umum. Meski begitu, hingga saat ini pembuktian kegiatan transaksi tersebut belum juga dibuktikan.

“Sudah menjadi rahasia umum, cuman kita belum bisa membuktikan. Saking rapinya,” katanya.

Selain itu, faktor yang mempengaruhi adanya kasus korupsi di kalangan ASN adalah kurangnya perhatian bahkan mengabaikan sejumlah administrasi. Meski terkesan ribet, tapi dengan menaati administrasi menurut Arie bisa menjadi kontrol terhadap kinerja para ASN.

“Saya pikir dengan administrasi yang ruwet seperti ini justru bagus, itu akan menjadi kontrol mereka,” ungkap Arie.

Misalnya, jika sebelumnya ada oknum yang bisa memalsukan tanda tangan. Tapi dengan adanya sistem elektronik, pemalsuan tanda tangan tidak bisa bisa lagi dilakukan. Karena nanti akan diketahui oleh server tanggal dan jam berapa tanda tangan dilakukan, itu terekam dan bisa dilacak.

Yang menjadi persoalan, dengan administrasi yang semakin ruwet, tindak pidana korupsi masih bisa masih terjadi.

“Dan ujung-ujungnya kasus korupsi berkaitan dengan adminstrasi,” katanya.

Contoh lain, sambungnya, terkait penerimaan barang seperti bantuan dari pemerintah pusat. Sebelum serah terima barang, ada yang namanya proses pencairan. Proses itu mestinya dicek. Tidak hanya bentuk fisiknya saja, tapi juga yang berkaitan dengan administrasi. Apakah tahapannya sudah benar atau tidak? Sudah melalui seluruh tahapan tidak?

“Sebelum pencairan seharusnya sudah diketahui. Ini tidak, kita tahu ada masalah ketika sudah terjadi pencairan,” ungkapnya.

Meningkatkan Pengawasan Inspektorat

Arie juga mempertanyakan mengapa korupsi mulai diketahui penyebabnya selalu di ujung kasus. Padahal menurutnya, hal itu bisa saja dicegah sejak dini.

“Bagi kita, ketika terjadi tindak pidana korupsi, tidak mungkin tiba-tiba di ujung kejadian,” ucapnya.

Karena itu, salah satu cara untuk mendeteksi dan mengantisipasi adanya tindakan pidana korupsi dengan meningkatkan pengawasan berlapis oleh Inspektorat.

“Diproses itu sudah ketahuan kok kalau prosesnya tidak transparan, partisipatif, hanya dimonopoli oleh satu atau dua orang tanpa melibatkan struktur administratif yang semuanya terlibat. Proses akan kelihatan di situ,” bebernya.

Jika kurangnya pengawasan disebabkan kurangnya sumber daya manusia, Arie menyarankan agar sistem pengawasan diperkuat di bidang digital. Menurut dia, sistem elektronik di era ini bisa membantu dan mempermudah setiap lembaga atau instansi.

“Katakanlah membaca dokumen dengan cara manual akan memakan waktu dan butuh SDM. Tapi dengan sistem digital kan bisa mempermudah,” katanya.

Terbuka Seperti Pengurus Masjid

Alternatif lain untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi menurut Arie adalah lebih terbuka ke publik. Caranya adalah memberi akses pada masyarakat agar bisa memantau aktivitas para pejabat terkait anggaran.

“Buka ke publik. Ajak publik untuk memantau (perjalanan keuangan) di setiap institusi,” ucapnya.

Dia menyarankan agar para ASN maupun pejabat mengikuti sistem keterbukaan yang digunakan pengurus masjid.

Di masjid, katanya, satu rupiah pun diberitahukan ke masyarakat. Berapa nilai belanja, kapan dibelanjakan, selalu diinformasikan ke warga dengan ditulis di papan pengumuman.

“Kalau nanti ada yang janggal, pasti ditanya ke pengurus masjid,” katanya.

Menurutnya itu cara paling sederhana untuk mengantisipasi adanya tindakan korupsi di tubuh para pejabat.

“Itu sederhananya, kalau tidak mau atau tidak bisa menggunakan teknologi,” tutupnya. (KHN)

 

Sumber: Mengurai Penyebab Korupsi di Kalangan ASN NTB (1), Somasi: Awal Mulanya Transaksi – NTBSatu.com