Disclaimer: Tulisan ini telah dimuat di Lombok Post tanggal 21 Juli 2022

Oleh: Dwi Arie Santo

“Siapa menguasai data maka niscaya dia akan menguasai dunia” pepatah ini bukanlah suatu isapan jempol namun sudah menjadi fenomena yang sekarang baru kita rasakan Bersama, bagaimana perkembangan dunia teknologi informasi sebagai pengumpul data dan informasi dan juga sebagai alat analisis untuk memastikan dunia seperti apa yang akan di bentuk ke depannya, lagi-lagi sektor swasta yang mengambil alih kepemimpinan atas data tersebut.

Bagaimana tidak, perkembangan bisnis-bisnis raksasa yang sumber daya terbesarnya adalah tentang bagaimana mereka tanpa kita sadari telah mengakumulasi data dan informasi, baik data pribadi kita maupun data dan informasi terkait dengan sumber daya alam. Dalam hal ini negara justru masih di sibukkan tentang bagaimana cara memaksimalkan pajak dari para kapital yang
setiap hari, setiap detik akumulasi data dan informasi semakin menumpuk untuk terus memaksimalkan produk-produknya yang nantinya akan digunakan untuk membuat masyarakat ketergantungan yang akhirnya negara pun dibuat tidak berdaya.

 

SATU DATA INDONESIA, muncul bukan secara tiba-tiba dari hasil perenungan para pengambil kebijakan. Namun wacana ini muncul berangkat dari kebutuhan yang mau tidak mau memang harus direalisasikan jika para pengambil kebijakan masih menganggap pentingnya cita-cita negara kesejahteraan. Setiap tahun memang pemerintah baik di tingkat pusat memang
mengeluarkan data analisis mulai dari jumlah penduduk, tingkat ekonomi, perkembangan infrastruktur, kemiskinan, Potensi Sumber Daya Alam dan lain sebagainya, namun itu tidaklah cukup karena informasi yang didapatkan masih dalam tataran makro, padahal jika berbicara dalam konteks pengentasan kemiskinan saja kita tidak boleh meninggal satu orang pun yang masih dalam garis kemiskinan, itulah semangat kesejahteraan yang semestinya dilakukan.

Sementara mimpi akan memiliki Satu Data di tingkat nasional sendiri masih belum tampak bagaimana tahapannya, terkesan masih kebingungan untuk menentukan bentuknya seperti apa. Hal ini di tandai dengan di sahkannya Peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Padahal yang menjadi pertimbangan di dalam perpres tersebut di mana dalam poin (a) disebutkan bahwa untuk mewujudkan keterpaduan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengendalian pembangunan, perlu didukung dengan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses dan dibagi pakaikan, serta dikelola secara seksama, terintegrasi dan berkelanjutan.

Secara praktik pun sebenarnya kita sudah diingatkan bahwa pentingnya keterpaduan tersebut, di mana beberapa tahun terakhir kita di buat babak belur oleh situasi pandemi covid-19 di mana data menjadi salah satu kunci kesuksesan dalam pengendaliannya, begitu juga data terkait dengan kesejahteraan sosial benar-benar menjadi tamparan keras bahwa sistem tata Kelola data kita masih sangat lemah hingga banyak persoalan mulai dari salah sasaran di mana orang yang secara ekonomi mampu justru menerima bantuan sosial, orang yang bekerja sebagai aparatur sipil negara namanya masuk pada data penerima bantuan dan banyak lagi masalah-masalah lainnya padahal dalam situasi negara dalam keadaan genting seperti itu lagi-lagi data harusnya menjadi panglima.

Fenomena lain lagi terkait dengan minyak goreng, negara terkesan kurang cakap untuk melakukan diagnosa sumber persoalan yang terjadi malah sibuk saling menyalahkan dan saling menasihati lebih baik jangan terlalu banyak mengkonsumsi minyak goreng untuk memasak, kenapa tidak direbus saja. Ini bukanlah solusi karena bagaimanapun juga negara kita adalah negara penghasil bahan baku tersebut kenapa kita seakan-akan tidak boleh menikmati apa yang menjadi hak kita sebagai negara penghasil. Belum lagi persoalan setiap lima tahunan yaitu pemilihan umum yang sebentar lagi akan kita hadapi di tahun 2024 data penduduk yang nantinya akan menentukan siapa yang terdaftar sebagai pemilih, selalu terulang dan mengulang kesalahan yang sama.

Satu Data dan UU KIP

Satu Data jangan dipandang merupakan pekerjaan baru yang pada akhirnya meninggalkan pekerjaan lama yang sudah  mendapatkan apresiasi sehingga kepuasan atas layanan berhenti sampai pada titik di mana penghargaan sudah didapatkan, namun bagaimana Satu Data ini menjadi pemacu untuk lebih meningkatkan Kembali kualitas layanan, semangat integrasi dari
berbagai layanan yang terkait dengan data dan informasi menjadi penting di dalam mengimplementasikan Satu Data, bagaimana selama ini tata Kelola informasi berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 (UU KIP) tentang Keterbukaan Informasi Publik yang sudah dijalankan juga menjadi salah satu sumber data untuk bisa di akomodir di dalam Satu Data.

Dalam hal ini akhirnya ada banyak hal yang bisa didapatkan tidak hanya bagaimana secara kuantitas terwujudnya Satu Data dengan menggandeng berbagai pihak untuk memproduksi data juga bagaimana ada konektifitas dengan aplikasi lain yang sudah ada sebelumnya. Sebagaimana diamanatkan di dalam peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi BAB I Ketentuan Umum Pasal 3 yang menyebutkan Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, goto, Electronic Data Intechange (EDI), surat elektronik (Elektronik mail), telegram, teleks, telecopt, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka kode akses, simbol atau perfrasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Tidak hanya bagaimana pemerintah menjadikan data itu sebagai bahan untuk melalukan proses perencanaan, pelaksanaan serta evaluasinya pembangunan semata, namun nilai partisipasi masyarakat juga ada di dalamnya mulai dari setiap proses-proses yang dilakukan di dalamnya, sebagaimana di dalam proses produksi data yang ada tidak hanya dilakukan berdasarkan apa yang ada di dalam satu data saja namun juga membuka ruang bagi sistem atau pendataan lainnya yang selama ini sudah dilakukan atau sudah berjalan sehingga semakin mempermudah dari sisi layanan sendiri Ketika masyarakat membutuhkan informasi tidak harus mengakses informasi dari berbagai sumber yang pada akhirnya tidak aksesibel.

Bagaimana “SATU DATA” di daerah.

Bagi daerah sendiri satu data juga menjadi fakta yang tidak hanya muncul karena instruksi dari pemerintah pusat saja, di mana bagi daerah sendiri kebutuhan akan data tersebut menjadi sebuah keharusan yang memang sudah semestinya dilakukan untuk merencanakan sebuah pembangunan ke depannya, sebagaimana pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat di dalam mengaplikasikan Satu Data tersebut ke dalam Peraturan Gubernur Nomor 45 Tahun 2021 tentang Nusa Tenggara Barat Satu Data. Padahal jauh sebelum adanya peraturan Gubernur ini sendiri Satu Data NTB sudah dijalankan meski masih banyak kekurangan di dalamnya, keberadaan peraturan Gubernur tersebut dapat menjadi payung hukum agar cita-cita mewujudkan NTB Satu Data dapat terwujud sesuai harapan apalagi jika peraturan tersebut dapat di dorong menjadi Peraturan Daerah sehingga ada jaminan ke depannya siapa pun pemimpin Provinsi Nusa Tenggara Barat akan tetap menjalankan agenda tersebut.

Agar tidak mengulang Kembali kesalahan yang sama atas perlakukan program-program seperti ini, pemerintah Provinsi sepertinya sudah mulai menyadari bahwa berbicara data tidaklah mungkin hanya dapat dihasilkan oleh pemerintah provinsi sendiri dengan bagaimana memaksimalkan data dan informasi yang sudah ada, sebagaimana harus kita akui bahwa sebelum munculnya NTB Satu Data ini, jauh lebih dulu pemerintah desa telah membuat Sistem Informasi Desa (SID) yang di dalamnya juga terdapat data serta informasi terkait dengan pembangun desa dan barang tentu informasi-informasi yang ada di dalam SID tersebut telah
digunakan oleh pemerintah desa untuk Menyusun agenda-agenda program kerja desa setiap tahunnya.

Semangat ini yang harus di dukung dan di jaga dan bahkan harus di perluas, karena masih banyak potensi sumber data dan informasi yang dihasilkan selain dari pemerintah itu sendiri, bagaimana kampus yang selama ini juga memproduksi data dan informasi melalui penelitian-penelitian yang telah dilakukan, serta bagaimana kelompok masyarakat sipil yang selama ini juga melakukan kegiatan yang sama, kenapa tidak sektor-sektor di luar pemerintah tersebut juga dilibatkan di dalam memproduksi data dan informasi yang nantinya juga dapat di kumpulkan di dalam NTB Satu Data tersebut, tinggal bagaimana mekanisme serta standar sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam peraturan yang ada sehingga layak menjadi data di dalam NTB Satu Data tersebut.

Dalam hal ini kita baru menyoal terkait dengan bagaimana cara memproduksi serta konektifitas dengan sistem data dan informasi yang lain, belum kita membicarakan terkait dengan bagaimana akses layanan yang inklusif di mana tidak boleh satu orang pun merasa tidak terpenuhi hak atas data dan informasi tersebut sebagaimana yang terjadi selama ini masih sangat rendahnya akses terhadap masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus, terutama untuk mengakses layanan data dan informasi yang berbasis Teknologi Informasi, Semoga ke depan hal ini juga segera teratasi..!!!

Dwi Arie Santo, Koordinator Badan Pekerja SOMASI NTB